Jumat, 22 Juli 2022

Marah dan Benci

Hari ini ada kekacauan yang ku buat karena ikut hanyut dalam lautan amarah dan kebencian. Aku pernah melakukan konsultasi dengan seorang mentor tentang mengapa aku sangat keterlaluan ketika marah, aku tidak mampu melihat bahwa mungkin masalahnya ada di dalam inner child. Kisah masa kecil yang samar-samar ku ingat menjadi penyebab atas aku yang sekarang. Semua menjadi masuk akal mengapa aku dengan usia yang sudah setua ini tetap berperilaku seperti anak SD, kekanak-kanakan. Andai aku bisa menaruh tuas atau rem untuk diriku sendiri, aku ingin bisa menggunakannya sebijaksana mungkin. Aneh sekali, setiap kali diliputi amarah aku seperti tidak mengenali diriku sendiri. Aku tidak tahu caranya berhenti. 

Kekacauan yang aku akibatkan memberikanku suatu pemikiran lain, bagaimana jika dan segala kemungkinan yang harusnya dapat aku lakukan sebelum tergesa-gesa mengikuti emosi. Mengapa aku selalu terburu-buru. Mengapa aku selalu merasa harus menjadi yang lebih cepat. Mengapa aku tidak bisa berjarak dengan perasaan-perasaan ini dan mencerna dengan baik sebelum aku telan. Dan begitu banyak mengapa yang berkelebatan di kepalaku. Aku sangat amat lelah. 

Mari kita uraikan bagaimana kemarahan dan rasa benci ini berasal. Aku sedang berpikir keras apakah perilakuku tadi diperlukan di keadaan yang sebenernya sangat ambigu. Aku begitu marah dan merasa didesak, meskipun tidak ada yang benar-benar mendesakku. Apakah makian yang ku lontarkan ini diperlukan. Atau sebenarnya ada hal lain yang membuatku sangat marah sehingga rasa benci yang ku punya menjadi pemantik yang tepat untuk merendahkan nilai seseorang. 

Aku tidak sempurna, sebagaimana manusia pada umumnya. Namun, memiliki kebiasaan marah sepertiku sungguh sangat menyebalkan. Aku selalu merasa ada celah untukku berubah, ketika celah itu terasa begitu mengganggu maka ledakan kembali terjadi. Aku masih berusaha... Aku masih berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi. 

Senin, 18 Juli 2022

Hidup Untuk Siapa

Ada banyak hal yang membuatku berpikir keras mengenai apa dan bagaimana kehidupan ini berjalan. Terutama ketika aku mencoba mendengar lebih seksama, menatap lebih lama mata-mata orang-orang yang berlalu lalang di sekitarku. Aku hampir seperti anak kecil yang berharap untuk diajarkan tentang apa dan bagaimana hidup ini membuatku tumbuh lebih besar. 

Mengapa orang-orang masih bernapas meskipun tersendat-sendat? Mengapa orang-orang tidak mencekik dirinya sendiri beberapa ketika hidup membuat dadanya terasa terjepit? Bagaimana hidup di hati mereka? Hidup ini untuk siapa?

Begitu banyak pertanyaan tidak masuk akal diam-diam memenuhi kepala. Tidak tahu kemana dan dimana ia mampu menemukan jawaban. Ia selalu ada dan tumbuh lebih banyak lagi. Pertanyaan-pertanyaan. 

Mereka bilang jangan terlalu sibuk bertanya dan mencari jawaban. Hiduplah apa adanya. Temuilah senyata apa yang terlihat mata. Yang bersemayam di otak hanya imajinasi saja. Yang tidak nyata tidak pantas dipertahankan terlalu lama, katanya... Katanya...

Pertanyaan terbesarku tetap saja, lagi-lagi...

Mengapa aku melakukan semua ini? Mengapa aku harus melakukan semua ini? Hidupku untuk siapa?

Clouds