Selasa, 30 Maret 2021

Kenapa Aku Tidak Bahagia?

    Selama ini aku hidup dengan menggantungkan harapan pada sesuatu yang diluar kendaliku. Nasib, finansial, asmara dan bahkan pandangan orang terhadapku. Kalau aku bekerja di pemerintahan aku akan membuat orangtuaku bahagia sehingga aku bahagia. Kalau aku mempunyai uang yang banyak aku akan bahagia. Kalau kekasihku mampu menjadi orang yang ideal untukku maka aku akan bahagia. Kalau orang lain menganggapku sebagai sosok yang baik dan dapat diandalkan maka aku akan bahagia. 

    Faktanya, aku tidak bahagia. Aku sudah bekerja di pemerintahan, orangtuaku bangga. Aku tidak bahagia. Aku lupa apa yang benar-benar ingin ku lakukan dalam hidupku. Mimpiku yang sesungguhnya. Aku mempunyai gaji tetap di dalam rekeningku. Aku tidak bahagia. Kekosonganku membuatku terbiasa berbelanja secara berlebih dan tidak mampu mengatur keuanganku dengan baik sehingga aku tidak tahu cara menabung. Aku putus setelah 4 tahun lebih pacaran. Aku tidak bahagia setelah menyadari banyak hal yang sudah salah sejak awal memulai hubungan ini. 

    Aku tidak tahu bahwa banyak hal yang membuatku bahagia adalah semua keinginan yang sesungguhnya di luar kendaliku. Hal yang seharusnya aku biasakan dan tahu sejak awal sesungguhnya adalah bagaimana mengatur perspektif, nilai dan opini yang aku proses di dalam otakku. Stoic mengajarkanku bahwa kebahagiaan sesungguhnya bukan apa yang ada di luar kendali kita. Selama aku lebay mengurus dan mengharapkan hal-hal yang sesungguhnya tidak bisa ku kendalikan, lebih baik aku sibuk belajar untuk mengubah sudut pandangku untuk sama sekali tidak beremosi. Maka, aku akan bahagia. 

Jumat, 19 Maret 2021

Demanding

 Akhir-akhir aku berpikir keras tentang cinta dan siklus pertemanan dalam hidupku. Aku berpikir tentang bagaimana aku harus bersikap dan memperbaiki masa kini. Satu hal yang terpikir adalah teman lamaku yang pergi (atau mungkin ku dorong untuk pergi, entahlah) dari hidupku. Satu permasalahan pelik yang membuatku benar-benar berpikir keras entah bagaimana aku harus menghadapinya dan apakah aku ingin mereka kembali. 

Sejujurnya, aku hanya terpikir tentang betapa menyakitkannya kata-kata mereka terhadapku. Aku tidak tahu apakah ini karena ekspektasi mereka tentang "bagaimana teman yang baik harus bersikap", yang pasti aku sudah keluar dari daftar. 

Aku pikir teman yang baik seharusnya mau menerima. Mereka pikir, mungkin teman yang baik harus tahu diri kalau sudah dibantu. Tapi aku hanya ingin mereka tetap ada. Ada ketika aku ingin tiba-tiba datang. Ada ketika aku ingin mereka bercerita tentang masalahnya. Ada ketika aku ingin menyampaikan kabar bahagia. Tapi yang mereka ingat mungkin hanya saat ketika aku membutuhkan tempat sampah untuk membuang semua masalah hidup. 

Mungkin di masa lalu ada beberapa kesempatan aku sangat menuntut teman-temanku juga. Mungkin dari situlah semua berasal. Aku juga ingin agar mereka mampu menjelaskan semua perasaannya tanpa harus menyalahkanku. Aku sudah cukup merasa buruk. Aku tidak butuh diperlakukan lebih buruk lagi. 

Kalau saja mereka mau melihat usahaku untuk kembali ke tempat yang lebih baik. Membalikkan kondisi ku yang sangat terpuruk dan kembali ceria. Menjadi pribadi yang lebih sehat secara mental. Kenapa mereka tidak bisa berkata lebih sopan dan menghargaiku. Mungkin dengan begitu, keadaan tidak seburuk ini. Sudah cukup aku disalahkan oleh diriku sendiri. Setidaknya, mereka bisa berkata lebih baik. Bukan menoleh ke arah lain ketika aku sedang berbicara dan menyepelakanku. Seolah aku tidak berharga.

Kalau memang tidak ada simpati. Bukankah seharusnya kita memang tidak perlu berteman sejak awal. 

Kalau keberadaanku hanya lelucon. Bukankah seharusnya kalian tidak perlu menuntutku lebih jauh hanya untuk menginjak hati yang sedang ingin pulih ini. 

Aku akan hidup menjadi orang yang lebih baik. Aku akan bahagia dengan caraku. Terimakasih atas sarannya. Tapi aku hanya butuh seorang pendengar yang baik. 

Clouds