Selasa, 03 Maret 2020

Nostalgia : Masa Kecil

Kisah ini tidak akan hadir tanpa kisah lain seperti pertemuan dan romansa dari kedua orangtuaku yang memutuskan untuk hidup bersama. Kisah ini hanya sepenggal terpotong dibalik kisah-kisah manusia lain yang mungkin saja sama. Kisah ini tidak ada bedanya dengan kisah-kisah lain yang putus asa, benci dan terdengar sangat depresif. 

Aku lahir dan dibesarkan dengan masa kecil yang tidak terlalu banyak bisa dikenang. Teman masa kecil yang aku ingat sampai sekarang mungkin hanya dua tetanggaku yang sekarang entah bagaimana nasibnya karena mereka sudah lama pindah dari rumah yang dulunya mengontrak di tanah orang lain-pinggir kali (sungai kecil), almarhum Lele (Cindi) dan Putri (saudara sepupuku). Pada ingatan yang hanya bisa diraba, rasanya sejak dahulu aku memang kesulitan untuk berinteraksi dengan orang.

Dulu ibuku melarang aku berteman dengan siapapun. Sebuah pesan yang aku ingat sampai sekarang. Kisah dibalik itu yaitu karena semua orang pada akhirnya akan pergi.

Semua orang yang aku anggap teman. Pada akhirnya akan menjadi orang yang pertama pergi meninggalkanku sendirian. Kepergian demi kepergian yang membuatku tumbuh menjadi-entahlah seseorang yang suka memberi batas pada orang baru. 

Sejak kecil, aku sangat akrab dengan perasaan kesepian. Rasa sepi yang kerap muncul selalu meminta ditemani. Racun yang berubah menjadi perasaan obsesi yang tiada habisnya ketika datang orang baru menawarkan ikatan entah itu pertemanan atau asmara. Lama-lama aku sadar, sikapku mudah membuat orang muak. Siapa aku... 

Berani menahan seseorang untuk terus bersamaku.

Aku yang masih kecil selalu haus perhatian. Anak pertama yang awalnya hanya meminta satu adik saja. Bertambah menjadi dua, tiga. Teringat pertama kali aku pergi dari rumah mengetahui ibu hamil lagi. Seolah sudah cukup melihat betapa aku yang masih kecil harus melihat perhatian kedua orangtuaku terbagi. Aku pergi tidur di rumah saudaraku yang jaraknya mungkin hanya 20 langkah dari rumah. Ibuku sibuk menelpon bude menanyakan keberadaanku dan aku yang enggan berbicara dengannya. 

Sebagai anak pertama, sejak kecil aku merasa sudah menanggung beban begitu berat di pundakku. 

Hari-hari yang dipenuhi kalimat,"Mbak harus ngalah.","Adiknya kok gak diawasi" atau "Mbak kan sudah cukup kasih sayangnya"

Ku pikir, kasih sayang ada batas waktunya.

Aku yang masih kecil sangat hobi mencoret dinding dengan tulisan yang sangat kecil. Salah satu tulisan yang aku ingat adalah aku benci-diikuti daftar nama keluargaku. Coretan lain yang masih  sangat membekas dalam ingatanku yaitu "Aku ingin pergi dari sini".

Ketika SD aku selalu dijemput naik becak. Sopir becak itu bernama Pak Osok. Beliau sudah aku anggap keluarga sendiri. Pengalaman ku selama menjadi pelanggan tetapnya adalah berteman dengan seorang bocah laki-laki baik yang mengajariku cara membaca dan menulis huruf Braille. Namanya Rendi. Bocah laki-laki pertama yang mampu berkawan baik denganku. Sejak dahulu, aku jarang memiliki teman laki-laki bahkan hingga sekarang. Perempuan juga sebenarnya. Kalau dipikir-pikir aku hanya memiliki segelintir orang yang bisa dianggap teman. Mungkin hanya 3 atau 5, jangan tanya gendernya, semuanya perempuan.

Kembali pada topik becak, aku pernah dibulli habis-habisan oleh anak-anak SD di desaku. Kebetulan, ibuku menyekolahkanku di SD yang jauh dari rumah padahal tidak jauh dari rumah ada SD Negeri juga. Mungkin dahulu ibuku ingin aku mendapatkan pendidikan yang baik dengan SD yang memiliki reputasi baik. Entahlah, menurutku keduanya sama saja. 

Pembulian itu dilakukan secara keroyokan. Mental pembuli memang cemen pada dasarnya. Mereka mencegat becak Pak Osok di jalan yang tidak jauh dari SD dan gapura desaku, melempariku dengan sayur kelor dan meneriakiku entah apa-aku sudah lupa. Menceritakan ini kembali membuatku sangat sedih dan malu. Pak Osok yang sudah berusia paruh baya mencoba menghalau sekumpulan bocah-bocah SD tidak jelas ini tapi 2 dibanding-entalah mungkin 7 membuat mereka begitu percaya diri dan berhenti ketika mereka sudah selesai dengan urusannya. 

Apa yang bisa ku lakukan setelah kejadian demikian, menangis sambil mengadu kepada ibuku. Ibuku bertanya apa salahku. Aku pun juga. Bertanya apa salahku. Semua kepelikan ini berakhir dengan ibu dan nenekku yang mencari para pelaku di sekolahnya. Suatu kali setelah kejadian itu, mereka berjalan melewati becakku masih dengan mencemooh, sama sekali tidak terbesit perasaan bersalah. Tidak peduli betapa kejadian itu memberikan titik merah yang begitu lebar. Perasaan sakit hati. 

Beberapa hidup dari masa kecil bahagia. Sebagian orang hidup dari masa kecil yang traumatis. Lalu hidup berdampingan membangun ekosistem...

.... dengan menciptakan kisah yang hampir sama. 

Clouds