Selasa, 01 Desember 2020

Letting Go

    Hidup tidak akan pernah terlepas dari emosi-emosi yang timbul ketika kita menghadapi konflik. Emosi itu mampu menggerogoti kita selayaknya bumerang yang tadinya dimaksudkan untuk kembali menyakiti orang yang sudah membuat kita sedih, marah, bahkan kecewa. Emosi yang tadinya ditujukan untuk melindungi diri kita sendiri. 

    Selama hidup, aku selalu menganggap diriku adalah orang yang paling menyedihkan. Aku selalu berharap oranglain dapat berbuat baik padaku seperti halnya aku sudah berusaha untuk berbuat baik pada setiap orang. Tapi, aku salah. Di mata oranglain aku adalah orang yang ceroboh, menyebalkan, suka ikut campur dan asal bicara. 

    Aku belajar bahwa dalam hidup ini tidak ada yang bertahan selamanya. Bahkan dalam halnya hubungan pertemanan dan cinta. Setiap aku dihadapkan pada perselisihan yang mengharuskanku untuk memilih, aku tidak pernah yakin bahwa pilihan yang ku ambil benar untuk diriku sendiri. Aku tidak mengerti bagaimana harusnya bersikap ketika dihadapkan pada suatu yang pelik. Aku hanya ingin hidup tenang. Aku tidak ingin memilih antara apa dan siapa, aku hanya ingin ditemani. 

    Aku hanya ingin semuanya tetap sama. 

    Tapi hidup tidak seperti hamster dalam roda putar yang mau diajak jalan di tempat. Ia akan membawamu terjungkal, tergulung bahkan terbentur berkali-kali untuk memberikanmu pelajaran. Hal-hal yang akan membuatmu lebih baik lagi kalau kau mau melihat dengan lebih jernih. Terlepas dengan emosi-emosi negatif yang seperti melawanmu. Menahanmu pada masa lalu dan enggan menghadirkanmu pada masa sekarang. 

    Sulit, memang sulit ketika kamu melihat sekitarmu seolah nampak baik-baik saja ketika kamu dan masalahmu terlihat begitu menderita. Terpuruk. Kamu seolah tertarik pada jurang terdalam yang gelap dan tidak ada orang yang mampu mengeluarkanmu dari sana. 

    Lama kamu berada di dalamnya. Hingga lupa cara menangis. Hingga lupa caranya meraung meminta tolong. 

    Kemudian, dalam perjalanan melepaskan ini. Aku mencoba mendengar. Jauh ke dalam diriku sendiri. Semua luka, penyesalan dan caci maki di dalam diri. Aku mencoba berbaik hati pada diriku sendiri. Aku mencoba memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya sudah selesai. Setiap ikatan yang tidak untukku, memang baiknya tidak ditarik terlalu kencang. Aku hanya membuat tanganku berdarah. Aku dengan nada lembut menyuruh diriku untuk melepaskan dengan hati yang lapang. 

    Karena hanya aku, yang dapat menyelamatkan diriku sendiri. 

    Jadi mari kita lepaskan saja semua ini. Aku sudah memaafkanmu. Aku sudah memaafkan diriku sendiri. Semoga kalian menemukan apa yang kalian benar-benar inginkan dalam hidup ini. Terimakasih sudah menjadi bagian hidupku ketika aku masih remaja hingga proses menuju dewasa. Aku akan selalu merindukan saat-saat tertawa bersama. Meskipun, masih ada kata menyakitkan yang ikut terseret kembali dalam memori. Tapi, aku tahu. Aku pernah bahagia bersama kalian semua. 

Jumat, 24 April 2020

Teman

Dia datang padaku membawa surat kertas bergambar kartun dari binder. Seseorang yang wajahnya sudah tidak lagi bisa aku temui sejak 5 tahun ini. Saat mengingat kembali momen itu, aku merasa rindu juga bersalah. Aku lupa kronologi detail nya, yang aku ingat hanyalah sekelebat kenangan yang terbatas sekali dan perasaan di dalamnya.

Surat itu berisi tentang perasaan seorang gadis cilik kepada gadis cilik lainnya yang ingin dia ajak berteman. Aku mungkin hampir tidak pernah membahasnya dengan Almarhumah Lele-si pengirim surat (menjadi hal yang sealu aku sesalkan). Tapi, ada banyak hal yang terjadi diantara kami berdua sejak surat itu sampai di tanganku dan tidak pernah aku balas. Kita tetap berteman tapi entah lah, pertemanan kami sedikit aneh dan terkadang sulit untuk dimengerti bahkan kepada satu sama lain.

Tumbuh besar dengan pengalaman yang sedikit akan persahabatan, di umur kepala dua ini aku mengerti bahwa aku belum-belum benar menyayangi teman-temanku seperti mereka menyayangi ku. Aku yang dahulu hingga sekarang selalu ingin menjadi pusat perhatian. Aku yang selalu egois dengan aku. Aku yang tidak pernah mengingat hari ulang tahun teman-temanku karena malas. Semua sikap ini sedikit banyak melukai teman-teman. Belum ditambah sederet kebodohan akan sikap dan perkataan selama teman-temanku membutuhkan ku sebagai seorang pendengar atau orang yang didatangi ketika mereka sedang terpuruk.

Aku hampir jarang ada.

Aku berakhir menjadi seseorang yang menghabiskan waktunya dengan sendirian. Aku marah kepada semua hal dan orang-orang di sekitar ku saat aku merasa benar-benar kesepian. Aku lupa cara berkata baik dan meminta tolong untuk ditemani karena aku tidak ingin sendiri. Aku sudah lupa caranya.

Tidak ada yang mengatakan padaku bahwa ada seseorang di sana yang menunggu ku untuk bermain bersama. Sejak aku tidak pernah benar-benar menghargai apa yang ada sebelumnya. Hingga kini, aku hanya berteman sepi dan kegelapan di sekelilingku.

Terimakasih, sudah pernah hadir dan membuatku tertawa.

Maaf, karena tidak bisa membuatmu tinggal lebih lama.

Teman.... 

Selasa, 03 Maret 2020

Nostalgia : Masa Kecil

Kisah ini tidak akan hadir tanpa kisah lain seperti pertemuan dan romansa dari kedua orangtuaku yang memutuskan untuk hidup bersama. Kisah ini hanya sepenggal terpotong dibalik kisah-kisah manusia lain yang mungkin saja sama. Kisah ini tidak ada bedanya dengan kisah-kisah lain yang putus asa, benci dan terdengar sangat depresif. 

Aku lahir dan dibesarkan dengan masa kecil yang tidak terlalu banyak bisa dikenang. Teman masa kecil yang aku ingat sampai sekarang mungkin hanya dua tetanggaku yang sekarang entah bagaimana nasibnya karena mereka sudah lama pindah dari rumah yang dulunya mengontrak di tanah orang lain-pinggir kali (sungai kecil), almarhum Lele (Cindi) dan Putri (saudara sepupuku). Pada ingatan yang hanya bisa diraba, rasanya sejak dahulu aku memang kesulitan untuk berinteraksi dengan orang.

Dulu ibuku melarang aku berteman dengan siapapun. Sebuah pesan yang aku ingat sampai sekarang. Kisah dibalik itu yaitu karena semua orang pada akhirnya akan pergi.

Semua orang yang aku anggap teman. Pada akhirnya akan menjadi orang yang pertama pergi meninggalkanku sendirian. Kepergian demi kepergian yang membuatku tumbuh menjadi-entahlah seseorang yang suka memberi batas pada orang baru. 

Sejak kecil, aku sangat akrab dengan perasaan kesepian. Rasa sepi yang kerap muncul selalu meminta ditemani. Racun yang berubah menjadi perasaan obsesi yang tiada habisnya ketika datang orang baru menawarkan ikatan entah itu pertemanan atau asmara. Lama-lama aku sadar, sikapku mudah membuat orang muak. Siapa aku... 

Berani menahan seseorang untuk terus bersamaku.

Aku yang masih kecil selalu haus perhatian. Anak pertama yang awalnya hanya meminta satu adik saja. Bertambah menjadi dua, tiga. Teringat pertama kali aku pergi dari rumah mengetahui ibu hamil lagi. Seolah sudah cukup melihat betapa aku yang masih kecil harus melihat perhatian kedua orangtuaku terbagi. Aku pergi tidur di rumah saudaraku yang jaraknya mungkin hanya 20 langkah dari rumah. Ibuku sibuk menelpon bude menanyakan keberadaanku dan aku yang enggan berbicara dengannya. 

Sebagai anak pertama, sejak kecil aku merasa sudah menanggung beban begitu berat di pundakku. 

Hari-hari yang dipenuhi kalimat,"Mbak harus ngalah.","Adiknya kok gak diawasi" atau "Mbak kan sudah cukup kasih sayangnya"

Ku pikir, kasih sayang ada batas waktunya.

Aku yang masih kecil sangat hobi mencoret dinding dengan tulisan yang sangat kecil. Salah satu tulisan yang aku ingat adalah aku benci-diikuti daftar nama keluargaku. Coretan lain yang masih  sangat membekas dalam ingatanku yaitu "Aku ingin pergi dari sini".

Ketika SD aku selalu dijemput naik becak. Sopir becak itu bernama Pak Osok. Beliau sudah aku anggap keluarga sendiri. Pengalaman ku selama menjadi pelanggan tetapnya adalah berteman dengan seorang bocah laki-laki baik yang mengajariku cara membaca dan menulis huruf Braille. Namanya Rendi. Bocah laki-laki pertama yang mampu berkawan baik denganku. Sejak dahulu, aku jarang memiliki teman laki-laki bahkan hingga sekarang. Perempuan juga sebenarnya. Kalau dipikir-pikir aku hanya memiliki segelintir orang yang bisa dianggap teman. Mungkin hanya 3 atau 5, jangan tanya gendernya, semuanya perempuan.

Kembali pada topik becak, aku pernah dibulli habis-habisan oleh anak-anak SD di desaku. Kebetulan, ibuku menyekolahkanku di SD yang jauh dari rumah padahal tidak jauh dari rumah ada SD Negeri juga. Mungkin dahulu ibuku ingin aku mendapatkan pendidikan yang baik dengan SD yang memiliki reputasi baik. Entahlah, menurutku keduanya sama saja. 

Pembulian itu dilakukan secara keroyokan. Mental pembuli memang cemen pada dasarnya. Mereka mencegat becak Pak Osok di jalan yang tidak jauh dari SD dan gapura desaku, melempariku dengan sayur kelor dan meneriakiku entah apa-aku sudah lupa. Menceritakan ini kembali membuatku sangat sedih dan malu. Pak Osok yang sudah berusia paruh baya mencoba menghalau sekumpulan bocah-bocah SD tidak jelas ini tapi 2 dibanding-entalah mungkin 7 membuat mereka begitu percaya diri dan berhenti ketika mereka sudah selesai dengan urusannya. 

Apa yang bisa ku lakukan setelah kejadian demikian, menangis sambil mengadu kepada ibuku. Ibuku bertanya apa salahku. Aku pun juga. Bertanya apa salahku. Semua kepelikan ini berakhir dengan ibu dan nenekku yang mencari para pelaku di sekolahnya. Suatu kali setelah kejadian itu, mereka berjalan melewati becakku masih dengan mencemooh, sama sekali tidak terbesit perasaan bersalah. Tidak peduli betapa kejadian itu memberikan titik merah yang begitu lebar. Perasaan sakit hati. 

Beberapa hidup dari masa kecil bahagia. Sebagian orang hidup dari masa kecil yang traumatis. Lalu hidup berdampingan membangun ekosistem...

.... dengan menciptakan kisah yang hampir sama. 

Clouds